Halaman

Sunday, May 8, 2011

ESSAY

Membangun Kemandirian Petani di Kab Malang dengan Sistem SRI
Di  Pulau Jawa diperkirakan bahwa lebih dari 60% lahan sawahnya  telah mengalami degradasi  kesuburan tanah yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (dibawah 1%). Dampak dari rendahnya kandungan bahan organik (BO) ini antara lain adalah tanah menjadi keras yang menyebabkan liat sulit diolah, tidak responsive terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam, penggunaan air untuk irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung menurun (leveling-off) dan semakin susah untuk ditingkatan.
 Kesuburan tanah yang semakin menurun tersebut disebabkan karena metode yang digunakan untuk pengelolaan lahan sawah kurang tepat sehingga sawah semakin tandus sementara pemberian pupuk buatan terus-menerus dilakukan, bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan, tetapi dibuang ataupun dibakar begitu saja sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi miskin akan beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman dan memperburuk sifat fisik lahan.
 Rata-rata para petani masih menerapkan metode secara konvensional. Para petani mengelola lahan mereka dengan menggunakan pupuk buatan. Hal tersebut dikarenakan mereka menganggap bahwa menggunakan pupuk kimia hasil panennya lebih baik daripada menggunakan pupuk organik. Padahal pada kenyataannya, secara tidak langsung jika kita menggunakan pupuk kimia dalam jangka waktu yang cukup lama hal tersebut justru akan merusak struktur tanah yang nantinya akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas hasil panen padi.
Untuk itulah diperlukan suatu metode penanaman padi yang tidak memberikan dampak negatif baik bagi lingkungan maupun manusia. Dan metode yang dirasa tepat adalah System of Rice Intensification ( SRI ). Jika pandangan para petani masih terpaku pada penerapan metode secara konvensional yaitu menggunakan pupuk buatan dan lain sebagainya, maka  metode SRI ini mengajak para petani untuk meninggalkan budaya lama tersebut. Karena SRI dianggap lebih banyak memberikan keuntungan jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas padi.
SRI adalah suatu teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara. SRI sendiri mulanya ditemukan oleh Pastor Agrikulturis Perancis, Henri de Laulanie pada tahun 1961 dan diterapkan di Madagascar. Sedangkan di Indonesia sendiri  SRI diterapkan pada tahun 1999.
Di daerah Malang sendiri sistem ini diterapkan di Desa Mangunrejo, Kepanjen. Dan hasilnya pun sudah dirasakan oleh para petani. SRI adalah sistem penanaman padi yang merupakan kebalikan dari sistem penanaman  padi secara konvensional. Penerapan SRI dianggap mampu memaksimalkan hasil panen padi, yaitu meningkatkan produktivitas  padi sebesar 50 %.
Dengan menerapkan metode SRI,  pada setiap kali panen satu hektar sawah di Kabupaten Malang mampu menghasilkan produksi padi sampai tujuh ton. Itu artinya bahwa dalam setahun, para petani di Malang akan mendapat kelebihan panen mencapai tujuh ton. Sehingga penerapan SRI selain dapat menumbuhkan perekonomian para petani juga akan semakin mengukuhkan posisi Kabupaten Malang sebagai “ Lumbung Pangan” di Jawa Timur.
Terdapat beberapa hal-hal menarik dalam penerapan metode SRI, selain memberikan banyak penghematan dan efisiensi mulai dari penggunaan bibit, pupuk dan anti hama kimia, sampai kepada efisiensi air, SRI  juga memberikan penghematan dalam hal pembiayaan bagi petani. Betapa tidak, karena metode ini memberikan penghematan dalam ongkos produksi yang otomatis dapat mengurangi budget petani dalam memproduksi beras yang baik. (2008)
Penerapan metode SRI dengan pengunaan kompos sebagai pupuk dasar utama menggantikan pupuk kimia yang banyak digunakan para petani secara membabi-buta, akan memberikan ruang hidup yang nyaman bagi jutaan mikroorganisme tanah termasuk juga cacing dan serangga lain yang perannya sangat krusial dalam ekosistem tanah, ekosistem sawah dan untuk tanaman padi itu sendiri. Hasil yang  berlipat seperti yang didapatkan selama ini, semata-mata adalah karena penerapan metode  yang benar telah dilakukan para petani dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam suatu ekosistem sawah.
Saat ini di Kabupaten Malang, khususnya kota Kepanjen masih menerapkan SRI. Namun penerapan SRI tersebut belum diikuti oleh daerah-daerah sekitarnya. Hal tersebut disebabkan karena petani disekitar daerah Kepanjen masih belum begitu terbuka terhadap adanya suatu metode dan informasi baru. Terbelenggunya pola pikir petani yang terpaku hanya pada metode penanaman padi secara konvensional tersebut disebabkan karena takutnya menghadapi kerugian hasil panen yang akan didapatkan.
Ketidakpercayaan petani terhadap metode SRI ini secara tidak langsung menghambat pembangunan pertanian, khususnya dalam ketahanan pangan. Kendala lain yang menghambat penerapan  metode SRI oleh para petani tersebut adalah sulitnya  mengubah budaya petani agar beralih menggunakan pupuk organik. Hal tersebut dikarenakan mereka menganggap bahwa hasil panen padi dengan menggunakan pupuk organik  lebih rendah daripada tanaman yang menggunakan pupuk kimia. Sehingga pemikiran untuk menggunakan pupuk organik tidak terjamah lagi.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemkab Malang telah menargetkan untuk menambah produksi beras, meski telah surplus hingga 65 ribu ton. Caranya adalah meningkatkan produksi padi dengan menggunakan aplikasi teknologi pertanian. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Pemkab Malang, Ir. Purwanto mengatakan, benih tersebut saat ini masih dikembangkan di Demplot Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Karangploso. BPTP telah melakukan serangkaian uji coba di 8.600 titik di Jawa Timur beberapa ada di Kabupaten Malang. ”Rencananya akan kita pakai di Kabupaten sentra produksi padi, yakni Kecamatan Kepanjen, Sumberpucung, Turen, Dampit dan Pakisaji,” jelas Purwanto.(2011)
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika penerapan metode ini diterapkan di sebagian daerah saja. Metode ini bukan hanya memberikan dampak positif bagi para petani, tetapi juga pada lingkungan. Seharusnya, ketakutan petani akan kegagalan dan kerugian hasil panen ini memperoleh tanggapan dan jawaban dari pemerintah, paling tidak dengan memberikan bimbingan kepada petani tentang cara bercocok tanam menggunakan metode SRI secara tepat.
Tidak hanya itu, para petani yang baru menerapkan metode ini sebaiknya juga diberikan jaminan berupa uang sebagai ganti rugi seandainya metode tersebut gagal. Hal itu akan membuat petani tidak berfikir panjang untuk menerapkan metode ini. Proses penerapan SRI yang benar dan konsisten,  pelan-pelan dapat ditumbuhkembangkan kepada  petani-petani binaan. Tujuannya adalah menciptakan petani yang mandiri  dari suatu demplot atau demarea yang dilakukan.          
Petani yang mandiri adalah  petani yang tidak lagi mempedulikan harga gabah atau beras yang naik turun di pasaran, karena gabah dan beras berkualitas yang mereka hasilkan sudah pasti memiliki nilai jual yang layak. Petani mandiri adalah ketika petani sudah tidak lagi peduli dengan kondisi air sawah yang fluktuatif debitnya, karena SRI dikenal dengan metode irit air, yaitu hanya 40%  saja pemanfaatannya di lahan sawah. Petani mandiri adalah ketika petani sudah tidak menggantungkan hidup keluarganya kepada bandar-bandar, lintah darat serta orang jahat berkalung riba yang menjerat kehidupan keluarga para petani.
Petani mandiri seperti inilah yang kita harapkan dapat membangun ketahanan pangan Nasional dengan menerapkan metode SRI di seluruh pelosok Indonesia. Saat petani-petani mandiri ini telah menyebar ke seluruh penjuru daerah di tanah air, bisa dibayangkan kekuatan ekonomi pedesaan akan menjelma menjadi kekuatan ekonomi nasional yang dapat mengendalikan stok dan harga pangan di Indonesia.
Akhirnya, pertanyaan menarik perlu kita munculkan. Apakah bangsa ini masih akan bersikap acuh tak acuh terhadap  pembangunan pertanian? Semoga wacana ini menjadi salah satu wahana penyadaran.  Wallahu’alam.